PENDEKATAN EKSPRESIF DAN PRAGMATIK
PENDEKATAN EKSPRESIF DAN PRAGMATIK
A. Pendahuluan
Pendekatan (approach) berarti pandangan awal peneliti terhadap karya sastra, apakah karya sastra tersebut sebagai objek yang mandiri dengan pengertian terlepas dari kepentingan pengarang dan pembaca, apakah karya sastra tersebut sebagai objek yang dikaitkan dengan pengarang (pencipta), apakah karya sastra tersebut sebagai objek yang dikaitkan dengan kepentingan pembaca (penikmat), dan apakah karya sastra tersebut sebagai objek yang dikaitkan dengan kondisi sosial yang melingkupinya.
Sebagian besar penelitian, atau bahkan secara keseluruhan, ditentukan oleh tujuan penelitian. Dan pendekatan merupakan langkah awal dalam mewujudkan tujuan penelitian tersebut. Pendekatan merupakan pijakan dasar yang menentukan sikap peneliti dalam pemilihan teori, penerapan metode, dan penilaiannya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pendekatan mendahului teori dan metode. Misalnya, apabila sebuah karya sastra dipandang sebagai ekspresi dunia batin dan pengalaman pengarang maka peneliti dapat menggunakan pendekatan psikologi sastra dengan menggunakan metode (dan tentu saja seperangkat teori) yang berlaku di dalamnya, sedangkan penilaiannya haruslah sesuai dengan dunia pengarang yang bersangkutan.
Apabila sebuah karya sastra dipandang sebagai cermin atau gambaran kehidupan suatu masyarakat pada masa atau zaman tertentu, maka seorang peneliti dapat memanfaatkan sosiologi atau historiografi dengan segala kerumitannya dan penilaian pun harus relevan dengan kepentingan sosial.
Apabila sebuah karya sastra dipandang sebagai teks yang mandiri (berdiri sendiri dan otonom), atau struktur gagasannya dapat dibaca dan dipahami berdasarkan kata-kata dan kalimatnya sendiri, terlepas dari siapa pengarang dan kapan ditulis, maka seorang peneliti dapat menggunakan pendekatan strukturalisme sastra (dan tentu saja seperangkat teori) dan penilaiannya semata-mata bertumpu pada makna yang terserap dari teks yang bersangkutan.
Jika sebuah karya sastra dipandang bermakna apabila telah diserap oleh pembaca dari masa ke masa sehingga maknanya sudah teruji oleh sejarah (karya sastra merupakan harapan pembaca dalam memperoleh ‘sesuatu’ yang mungkin berupa ajaran moral, etika, norma, kebijakan, filsafat, dan lain-lain), maka seorang peneliti dapat memanfaatkan pendekatan resepsi sastra yang memihak kepentingan pembaca.
B. Pembahasan
1. Pendekatan Ekspresif
Secara ekspresif karya sastra (seni) merupakan hasil pengungkapan sang pencipta seni (artist) tentang pengalaman, pikiran, perasaan, dan sejenisnya. Dengan demikian, menurut Lewis (1976 : 46)., karya sastra bisa didekati dengan pendekatan ekspresif, yakni pendekatan yang berfokus pada diri penulis (pengarang), imajinasinya, pandangannya, atau kespontanitasnya.
Dengan perkataan lain, dilihat dari sisi pengarang, karya sastra (seni) merupakan karya kreatif, imaginatif (rekaan) dan dimaksudkan untuk menghadirkan keindahan. Dalam kaitan ini, Esten menyatakan bahwa ada dua hal yang harus dimiliki oleh seorang pengarang, yakni : daya kreatif dan daya imajinatif. Daya kreatif adalah daya untuk menciptakan hal-hal yang baru dan asli. Manusia penuh dengan seribu satu kemungkinan tentang dirinya. Untuk itu, seorang pengarang berusaha untuk memperlihatkan kemungkinan tersebut, memperlihatkan masalah-masalah manusia yang substil (halus) dan bervariasi dalam karya-karya sastranya. Sedangkan daya imajinatif adalah kemampuan pengarang untuk membayangkan, mengkhayalkan, dan menggambarkan sesuatu atau peristiwa-peristiwa. Seorang pengarang yang memiliki daya imajinatif yang tinggi bila dia mampu memperlihatkan dan menggambarkan kemungkinan-kemungkinan kehidupan, masalah-masalah, dan pilihan-pilihan dari alternatif yang mungkin dihadapi manusia. Kedua daya itu akan menentukan berhasil tidaknya suatu karya sastra (1978 : 9).
Menurut Ratna (2015:68-69) dalam bukunya menjelaskan bahwa pendekatan ekspresif memiliki sejumlah persamaan dengan pendekatan biografis dalam hal fungsi dan kedudukan karya sastra sebagai manifestasi subjek kreator. Dikaitkan dengan proses pengumpulan data penelitian, pendekatan ekspresif lebih mudah dalam memanfaatkan data biografis dibandingkan dengan pendekatan biografis dalam memanfaatkan data pendekatan ekspresif. Pendekatan biografis pada umunya menggunakan data primer mengenai kehidupan pengarang, ole karena itulah disebut sebagai data historiografi. Sebaliknya, pendekatan ekspresif lebih banyak memanfaatkan data sekunder, data yang suda diangkat melalui aktivitas pengarang sebagai subjek pencipta, jadi, sebagai data literer. Untuk menjelaskan hubungan antara pengarang, semestaan, pembaca, dan karya sastra, Abrams membuat diagram yang terdiri ats empat komponen utama, dengan empat pendekatan, pendekatan ekspresif, mimetik, pragmatik, dan objektif.
Pendekatan ekspresif tidak semata-mata memberikan perhatian terhadap bagaimana karya sastra itu diciptakan, seperti studi proses kreatif dalam studi biografis, tetapi bentuk-bentuk apa yang terjadi dalam karya sastra yang dihasilkan. Apabila wilayah studi biografis terbatas hanya diri penyair dengan kualitas pikiran dan perasaannya, maka wilayah studi ekspresif adalah diri penyair, pikiran, dan perasaan, dan hasil-hasil ciptaannya. Dikaitkan dengan dominasi kesadaran manusia seperti disinggung di atas, maka pendekatan ekspresif membuktikan bahwa aliran Romantik cenderung tertarik pada masa purba, masa lampau, dan masa primitif kehidupan manusia. Melalui indikator kondisi sosiokultural pengarang dan ciri-ciri kreativitas imajinatif karya sastra, maka pendekatan ekspresif dapat dimanfaatkan untuk menggali ciri-ciri individualisme, nasionalisme, komunisme, dan fenimisme dalam karya, baik karya sastra individual maupun karya sastra dalam kerangka periodisasi.
Secara historis, sama dengan pendekatan biografis, pendekatan ekspresif dominan abad ke-19, pada zaman Romantik. Di Belanda dikenal melalui angkatan 1880 (80-an) di Indonesia melalui angkatan 1930(30-an), yaitu Pujangga Baru, yang dipelopori oleh Tatengkeng, Amir Hamza, dan Sanusi Pane , dengan dominasi puisi lirik. Menurut Teeuw (1988:167-168) tradisi ini masih berlanjut hingga Sutardji Calzoum Bachri, tidak terbatas pada cipta sastra tetapi juga pada kritik sastra. Dalam tradisi sastra Barat pendekatan ini pernah kurang mendapat perhatian, yaitu selama abad Pertengahan, sebagai akibat dominasi agama Kristen. Karya sastra semata-mata dianggap sebagai peniruan terhadap kebesaran Tuhan dengan konsekuensi manusia sebagai pencipta harus selalu berada di bawah Sang Pencipta.
a. Tujuan
Tujuan dari penelitian yang menggunakan pendekatan ekspresif adalah untuk mengetaui seberapa kita mengenal pengarangnya dalam rangka mendalami imajinasi, pandangannya, dan imajinasinya dalam karya sastra.
b. Manfaat
Manfaat dari penelitian yang menggunakan pendekatan ekspresif ialah:
1) Mendalami apa yang dipikirkan oleh pengarang atau pembuat dari karya sastra tersebut
2) Merasakan imajinasi pengarang dalam karya sastranya
3) Melihat karya sastra dari sudut pandang pengarang bukan dari sudut pandang penikmat karya sastra
4) Mengetahui kespontanitasannya dalam pengarang membuat karya
2. Pendekatan Pragmatik
Pendekatan Pragmatik dalam studi sastra menurut Abrams (1979:14—15) adalah suatu pendekatan teori yang berangkat dari asumsi dasar bahwa setiap karya sastra diciptakan dengan tujuan tertentu. Dengan asumsi dasar semacam itu dalam pendekatan pragmatik karya sastra sering ditafsirkan sebagai alat untuk menyampaikan suatu pesan dengan menggunakan cara khusus.
Pandangan terhadap karya sastra (seni) secara pragmatis ini menggeser doktrin “seni (hanya) untuk seni” sebagaimana terurai di atas. Dalam kaitan ini, Horace, misalnya, mengetengahkan tesis dan kontratesisnya terhadap karya seni. Menurut Horace, bahwa seni harus dulce et utile atau menghibur dan bermanfaat (Wellek & Warren, l977). Karya seni yang menghibur dan bermanfaat harus dilihat secara simultan, tidak secara terpisah antara satu dengan yang lainnya. Artinya, bagi seniman, dalam proses penciptaan karya seni antara aspek hiburan dan kebermanfaatan harus dipertimbangkan; dia hendaknya tidak menonjolkan aspek hiburan ketimbang aspek kebermanfaatan, sehingga terjadi keseimbangan antara segi menghibur dan bermanfaat pada karya seni yang diciptanya.
Secara pragmatis selain sebagai sarana hiburan, pesan-pesan moral yang dihadirkan oleh karya seni bisa dimanfaatkan oleh para penikmatnya sebagai bahan perenungan. Kalau sastra (seni), misalnya novel, dianggap sebagai “model” kehidupan manusia, betapapun khayalnya, kita bisa melihat model-model atau pola-pola kehidupan yang baik-buruk, santun-kasar, bermoral-amoral, menyegarkan-menyebalkan atau sejenisnya (misalnya, dalam persahabatan, hubungan antar anak-anak, hubungan anak terhadap orang tua atau sebaliknya, hubungan murid terhadap guru atau sebaliknya, dan sebagainya). “Model-model” kehidupan dalam kategori baik bisa diadopsi dan dikembangkan dalam kita hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara; sebaliknya, hal-hal yang tidak baik tentu harus kita tinggalkan.
Sebagai model kehidupan, novel hampir selalu menawarkan model kehidupan yang baik dikonfrontasikan dengan yang jelek, jahat. Walaupun, pada awalnya tokoh yang baik banyak menghadapi tantangan, masalah, dan sejenisnya dari tokoh yang jahat; pada akhirnya ‘yang baik’ menang, berjaya, dan berbahagia, sedangkan ‘yang jahat’ kalah, tersingkir dan lalu menderita. Aspek pragmatis (kebermanfaatan) yang dapat dipetik dari karya seni tersebut adalah antara lain : (a) perbuatan yang baik lambat laun akan membuahkan hasil yang baik pula, (b) perbuatan yang tidak baik (sewenang-wenang, korupsi, manipulasi, hanya mementingkan kepentingan pribadi padahal yang bersangkutan seharusnya memikirkan kepentingan rakyat banyak, serakah, memakan yang bukan haknya, dan sejenisnya) akan berbuah ketidakbaikan, ketidaknyamanan, kegelisahan, stress, penyakit (terkena bala), dan hal-hal yang tidak nyaman lainnya; (c) perbuatan yang baik akan mengalahkan perbuatan yang jahat.
Menurut Ratna (2015: 71-72) dalam bukunya mengemukakan bahwa pendekatan pragmatis memberikan perhatian utama terhadap peranan pembaca. Dalam kaitannya dengan salah satu teori modern yang paling pesat perkembangannya, yaitu teori resepsi, pendekatan pragmatik dipertentangkan dengan pendekatan ekspresif. Subjek pragmatik dan subjek ekspresif, sebagai pembaca dan pengarang berbagai objek yang sama, yaitu karya sastra. Perbedaannya, pengarang merupakan subjek pencipta, tetapi secara terus menerus fungsi-fungsinya dihilangkan, bahkan pada gilirannya pengarang dimatikan. Sebaliknya, pembaca yang sama sekali tidak tahu-menahu tentang proses kreativitas diberikan tugas utama bahkan dianggap sebagai penulis (rewriten).
Pendekatan pragmatik dengan demikian memberikan perhatian pada pergeseran dan fungsi-fungsi baru pembaca tersebut. Secara historis (Abrams, 1976:16) pendekatan pragmatik telah ada taun 14SM, terkandung dalam Ars Poetica (Horatius). Meskipun demikian, secara teoritis dimulai dengan lahirnya struktualisme dinamik. Stagnasi struktualisme memerlukan indikator lain sebagai pemicu proses estetis, yaitu pembaca (Mukarovsky).
Pada tahap tertentu pendekatan pragmatik memiliki hubungan yang cukup dekat dengan sosiologis, yaitu dalam pembicaraan mengenai masyarakat pembicara. pendekatan pragmatik memiliki manfaat terhadap fungsi-fungsi karya sastra dalam masyarakat, perkembangan, dan penyebarluasannya. Sehingga manfaat karya sastra dapat dirasakan. Dengan indikator pembaca dan karya sastra, tujuan pendekatan pragmatik memberikan manfaat terhadap pembaca. Pendekatan pragmatik secara keseluruhan berfungsi untuk menopang teori resepsi, teori sastra yang memungkinkan pemahaman hakikat karya tanpa batas.
a. Tujuan
Tujuan dari penelitian yang menggunakan pendekatan pragmatik adalah mencari sisi kebermanfaatan dari aspek moral yang berada dalam karya sastra tersebut.
b. Manfaat
Manfaat yang dapat diambil dari pendekatan pragmatik ialah:
1) Sebagai sarana hiburan yang dapat dinikmati melalui karyanya
2) Sebagai bahan perenungan diri terhadap apa yang ia dapatkan
3) Sebagai model kehidupan dari cerita-cerita yang disuguhkan dalam karyanya
4) Sebagai alat untuk menyampaikan suatu pesan dengan menggunakan cara khusus.
c. Karakteristik Pendekatan Ekspresif
Menekankan ekspresi perasaan atau temperamen penulis dalam karya sastra
Fokus pada pengalaman hidup, pandangan hidup, dan idealisme pengarang
Memiliki sifat subjektif, di mana pengarang menjadi pusat karyanya
Berusaha mengekspresikan ide-idenya ke dalam karya sastra
d. Prinsip Pendekatan Ekspresif
Menitikberatkan perhatian kepada upaya pengarang atau penyair dalam mengekspresikan ide-idenya. Mengungkapkan data diri pengarang melalui karya sastra.
e. Contoh Pendekatan Ekspresif
Analisis kritik sastra yang menelaah kajian dengan ekspresi perasaan atau temperamen penulis
Penelitian kualitatif yang menggunakan pendekatan ekspresif untuk memahami pancaran kepribadian pengarang melalui pernyataan yang paling intensif
Contoh pendekatan ekspresif dalam kajian sastra dapat dilihat dalam novel "Mencari Perempuan yang Hilang". Dalam novel tersebut, pendekatan ekspresif digunakan untuk melihat pancaran kepribadian dari seorang pengarang melalui pernyataan yang paling intensif. Dengan demikian, pendekatan ekspresif merupakan salah satu pendekatan yang penting dalam menganalisis dan memahami karya sastra.
DAFTAR PUSTAKA
Abrams, M. H. 1976. The Mirror and The Lamp: Romantic Theory and the Critical Tradition. New York: Oxford University Press.
Damono, Sapardi Djoko. Pedoman Penelitian Sosiologi Sastra. Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2002.
Ikhwan, Wahid Khoirul. "Pendekatan Pragmatik Dalam Novel Negari Para Bedebah Karya Tere Liye." Jurnal Pendidikan Bahasa Dan Sastra Indonesia Metalingua 6.1 (2021): 1-6.
Ilma, Awla Akbar, and Putri Bakthawar. "Metode Penelitian Sastra Lokal: Sebuah Rumusan Awal." Jurnal Sasindo UNPAM 7.2 (2019): 24.
Jayanti, Memmy Dwi. "Pendekatan Ekspresif Dan Objektif Dalam Novel“Mencari Perempuan Yang Hilang”." Wacana: Jurnal Bahasa, Seni, dan Pengajaran 4.1 (2020): 79-88.
Parmin, Jack. "Pendekatan dalam Penelitian Sastra." Blog UNESA (2019).
Komentar
Posting Komentar