HAKIKAT INTERPRETASI TERHADAP KARYA SASTRA
HAKIKAT INTERPRETASI TERHADAP KARYA SASTRA
A. Pendahuluan
Sastra adalah sebuah karya yang terbuka terhadap berbagai interpretasi (penafsiran). Interpretasi merupakan proses menyampaikan pesan (makna) yang secara eksplisit dan implisit termuat dalam karya sastra. Interpreter adalah juru bahasa atau penerjemah pesan yang terdapat dalam karya sastra. Pesan yang tidak begitu saja langsung jelas kepada setiap pembaca oleh karena bahasa yang banyak digunakan dalam karya sastra adalah bahasa konotatif. Bahasa yang memungkinkan berbagai penafsiran. Karena cirinya yang demikian inilah, maka dibutuhkan metode interpretasi yang cocok dan hermeneutika sangat memungkinkan untuk maksud tersebut.
Hermeneutika dikenal sebagai ilmu interpretasi makna dari sebuah teks. Lebih terkait dengan teks simbolik yang memiliki beberapa makna (multiple meaning). Hermeneutik dianggap sebagai teori pengoperasian pemahaman dalam hubungannya dengan interpretasi terhadap teks. Apa yang diucapkan atau ditulis manusia mempunyai makna lebih dari satu bila dihubungkan dengan konteks yang berbeda. Pada hermeneutika dikenal istilah verstehen yaitu cara mengembangkan pengetahuan berdasarkan kemampuan manusia memahami pikiran, pandangan, perasaan, cita-cita, dorongan dan kemauan orang lain.
Dalam kaitan dengan pemaknaan karya sastra, pembacalah yang berperan penting dalam penginterpretasian makna teks. Lingkaran hermeneutika (circle hermeneutis) merupakan sebuah cara interpretasi makna dalam studi sastra. Pada lingkaran ini dipahami bahwa objek dibatasi oleh konteks-konteks.Untuk memahami bagian-bagian harus dalam konteks keseluruhan dan sebaliknya memahami keseluruhan harus memahami bagian per bagian. Dengan demikian, pemahaman ini berbentuk lingkaran. Berdasarkan cara penginterpretasian yang dikenal dengan istilah lingkaran hermeneutika tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa penafsiran terhadap teks dalam studi sastra pada dasarnya terjadi dalam prinsip yang berkesinambungan.
B. Pembahasan
1. Hakikat Hermeneutika
Secara etimologis istilah hermeneutika berasal dari kata kerja bahasa Yunani Kuno yaitu hermeneuein yang berarti menafsirkan atau menginterpretasi, dari kata benda hermenia diterjemahkan penafsiran atau interpretasi (Sumaryono, 1999: 23). Dalam mitologi Yunani, kedua kata ini yaitu hermeneuein dan hermenia ini sering dikaitkan dengan tokoh Hermes, seorang utusan yang mempunyai tugas menyampaikan pesan Jupiter kepada manusia.
Tugas menyampaikan pesan mengandung makna yakni (1) mengungkapkan sesuatu yang masih berada dalam pikiran melalui kata-kata (bahasa) sebagai media penyampaian (speaking), (2) mengusahakan penyampaian yang jelas, logis sesuatu yang sebelumnya kurang jelas atau samar-samar agar maksud dari pembicara dapat dipahami (explanation) (3) mengalihbahasakan ucapan para dewa ke dalam bahasa yang dapat dimengerti manusia dalam arti menerjemahkan bahasa asing ke dalam bahasa yang dapat dipahami pembaca (translating). Pengalih bahasaan sesungguh-nya identik dengan penafsiran ( Palmer, 2003). Dari situ kemudian pengertian kata hermeneutika memiliki kaitan dengan sebuah penafsiran atau interpretasi.
Menurut Bauman (dalam Hidayat, 1996) kata hermeneutika berasal dari bahasa Yunani yaitu hermenutikos yang mengandung pengertian upaya menjelaskan dan menelusuri pesan dan pengertian dasar dari sebuah ucapan atau tulisan yang tidak jelas, kabur, atau remang-remang. Ucapan dan tulisan yang demikian tentu menimbulkan kebimbangan, kebingungan bahkan keraguan bagi pembaca atau pendengar. Mencermati pengertian hermeneutika berdasarkan asal katanya maka dapatlah dipahami bahwa hermeneutika berkaitan dengan masalah pemahaman. Pemahaman dalam hal ini dimaknai sebagai sebuah proses hasil penafsiran atau interpretasi. Dalam hal itu Palmer (1969:3) menyatakan hermeneutika diartikan sebagai proses mengubah situasi ketidaktahuan menjadi tahu atau mengerti.
Pada dasarnya hermeneutika berhubungan dengan bahasa. Karya sastra adalah realita yang dibahasakan. Karya yang merupakan himpunan pengetahuan yang dibahasakan dibungkus dengan satu sistem ideologi tertentu. Oleh karena itu hermeneutika amat diperlukan untuk menafsirkan pesan ideologis yang terdapat dalam karya sastra.
Ricoeur (1985:43) mendefinisikan hermeneutik sebagai teori pengoperasian pemahaman dalam hubungannya dengan interpretasi terhadap teks. Menurutnya, apa yang diucapkan atau ditulis manusia mempunyai makna lebih dari satu bila dihubungkan dengan konteks yang berbeda. Karakteristik yang menyebabkan kata-kata memiliki makna lebih dari satu bila digunakan dalam konteks-konteks yang berbeda oleh Ricoeur dinamakan ‘polisemi’. Karakteristik inilah yang menjadikan hermeneutik diperlukan dalam memahami manusia. Termasuk kehidupan manusia yang terdapat dalam karya sastra.
Seiring dengan pemahaman di atas Palmer (1963:3) dan Hidayat (1996: 12) menyatakan bahwa hermeneutika adalah metode kritik yang berusaha menafsirkan makna sebuah teks secara mendalam dari bahasa tertentu yang mencerminkan pola budaya tertentu pula. Peryataan tersebut mengandung makna bahwa begitu pentingnya aspek budaya atau etnik dalam teori hermeneutika.
2. Varian Hermeneutika Dalam Kerangka Kajian Sastra
Sebagai ilmu interpretasi, hermeneutika sangat berperan penting untuk mengkaji karya-karya sastra. Ada tiga varian yang sering digunakan dalam menginterpretasi karya sastra. Ketiga varian yang dimaksudkan Lefevere (1977: 46-47) adalah: pertama,hermeneutika tradisional (romantik); kedua, hermeneutika dialektik; dan ketiga, hermeneutika ontologis.
Ketiga varian tersebut sepakat dengan pendefinisian sastra sebagai objektivisasi jiwa manusia. Sastra sebagai objektivikasi jiwa manusia pada dasarnya bisa diamati, dijelaskan, dan dipahami (verstehen). Di sisi lain, ketiga varian hermeneutika itu berbeda dalam menginterpretasi verstehen-nya. Untuk itu, selanjutnya perlu dijelaskan bagaimana ketiga varian hermeneutika itu dalam kerangka kajian sastra, mulai hermeneutika tradisional, dialektik, hingga ontologis. Berikut ini akan dijelaskan satu persatu ketiga pembagian menurut Lefevere (1977) berikut ini.
a) Hermeneutika Tradisional
Hermeneutika tradisional biasa disebut hermeneutika “romantik” dirintis oleh Friedrich Schleiermacher, kemudian dilanjutkan Wilhelm Dilthey. Mereka berpandangan bahwa verstehen (pemahaman) adalah proses mental dan pemikiran yang aktif, merespons pesan dari pikiran yang lain dengan bentuk-bentuk yang berisikan makna tertentu Pada konteks ini dapat diketahui bahwa dalam menafsirkan teks, Schleiermacher lebih menekankan pada “pemahaman pengalaman pengarang” atau bersifat psikologis, sedangkan Dilthey menekankan pada “ekspresi kehidupan batin” atau makna peristiwa-peristiwa sejarah (Lefevere, 1997: 47). Apabila dicermati, keduanya dapat dikatakan memahami hermeneutika sebagai penafsiran reproduktif. Namun, pandangan mereka ini diragukan oleh Lefevere (1977) karena dipandang sangat sulit dimengerti bagaimana proses ini dapat diuji secara intersubjektif. Keraguannya ini agaknya didukung oleh pandangan Valdes (1987: 58) yang menganggap proses seperti itu serupa dengan teori histori yang didasarkan pada penjelasan teks menurut konteks pada waktu teks tersebut disusun dengan tujuan mendapatkan pemahaman yang definitif.
Menurut Lefevere, varian ini cenderung mengabaikan kenyataan bahwa antara penafsir (pembaca) yang satu dengan pembaca yang lain tidak akan terjadi penafsiran yang sama. Hal ini disebabkan karena pengalaman atau latar belakang masing-masing tidak pernah sama. Varian ini tidak mempertimbangkan pembacanya (audience). Dengan kata lain peran subjek pembaca sebagai pemberi respon dan makna diabaikan (Lefevere, 1977: 47-48; Eagleton, 1983: 59; Valdes, 1987: 57; Madison, 1988: 41). Secara singkat dapat dikatakan varian ini berasumsi bahwa semua pembaca karya sastra memiliki pengetahuan dan penafsiran yang sama terhadap satu karya sastra yang dibacanya.
Kelemahan varian hermeneutika tradisional seperti yang disebutkan di atas karena berpegang pada cara berpikir kaum positivis yang menganggap hermeneutika (khususnya versetehen) hanya “menghidupkan kembali” (mereproduksi). Pada sisi lain, sejalan dengan Betti, Lefevere membenarkan bahwa interpretasi tidak mungkin identik dengan penghidupan kembali, melainkan identik dengan rekonstruksi struktur-struktur yang sudah objektif sehingga perbedaan interpretasi di antara beberapa pembaca merupakan suatu hal yang dapat terjadi. Maksudnya, penafsir dapat membawa aktualitas kehidupannya sendiri secara intim menurut pesan yang dimunculkan oleh objek tersebut kepadanya (Lefevere, 1977: 49). Hal ini menurut Lefevere merupakan soal penting yang harus dilakukan dalam penafsiran teks sastra.
Pendapat Lefevere menarik untuk dicermati.Ia menyatakan bahwa suatu pemahaman yang hanya berdasar pada analogi-analogi dan metafor-metafor dapat menimbulkan kesenjangan. Atas dasar itulah Lefevere berpandangan bahwa verstehen tidak dapat dipakai sebagai metode untuk mendekati sastra secara tuntas. Pandangannya ini dapat dimaklumi, mengingat dalam memahami sastra, pemahaman tidak dapat dilakukan hanya dengan berpijak pada teks semata, tetapi seharusnya juga konteks dan subjek penganalisisnya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa realitas teks adalah realitas yang sangat kompleks yang tidak cukup dipahami dalam dirinya sendiri.
b. Hermeneutika Dialektik
Varian hermeneutika dialektik ini sebenarnya dirumuskan oleh Karl Otto Apel (dalam Lefevere, 1977: 49). Ia mendefinisikan verstehen tingkah laku manusia sebagai suatu yang dipertentangkan dengan penjelasan berbagai kejadian alam. Apel mengatakan bahwa interpretasi tingkah laku harus dapat dipahami dan diverifikasi secara intersubjektif dalam konteks kehidupan yang merupakan permainan bahasa.
Sehubungan dengan hal itu, lebih jauh Lefevere (1977: 49) menilai bahwa secara keseluruhan hermeneutika dialektik yang dirumuskan Apel sebenarnya cenderung mengintegrasikan berbagai komponen yang tidak berhubungan dengan hermeneutika itu sendiri secara tradisional. Apel tampakanya mencoba memadukan antara penjelasan (erklaren) dan pemahaman (verstehen); keduanya harus saling mengimplikasikan dan melengkapi satu sama lain. Ia menyatakan bahwa tidak seorang pun dapat memahami (verstehen) sesuatu tanpa pengetahuan faktual secara potensial.
Dengan demikian, pandangan Apel tersebut sebenarnya mengandung dualitas. Di satu sisi, tidak ada ilmuwan alam yang dapat menjelaskan sesuatu secara potensial. Di sisi lain, sekaligus tidak ada ilmuwan alam yang dapat menjelaskan sesuatu secara potensial tanpa pemahaman intersubjektif. Dalam hal ini teranglah bahwa “penjelasan” dan pemahaman” dibutuhkan, baik pada ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan (geistewissenschaften) maupun ilmu-ilmu alam (naturwissen-shacften) (Lefevere, 1977: 49). Pandangan Apel itu dapat dinilai sebagai pikiran modern, karena dia mencoba mempertemukan kedua kutub tersebut sebagaimana yang juga diakui oleh Madison (1988: 40). Secara umum, hal ini dipertimbangkan sebagai masalah dalam filsafat ilmu (filsafat pengetahuan).
Masalah inilah yang banyak dikupas secara panjang lebar oleh Madison. Dia mengungkapkan bagaimana pandangan Apel dan sumbangan Husserl. Pada intinya, Madison (1988: 47-48) menyatakan bahwa penjelasan bukanlah sesuatu yang berlawanan dengan pemahaman. Selanjutnya, dalam sudut pandang hermeneutika, Ia mengatakan bahwa penjelasan bukanlah suatu yang secara murni atau semata-mata berlawanan dengan pemahaman, dan bukan pula merupakan suatu yang bisa menggantikan pemahaman secara keseluruhan.Penjelasan lebih merupakan tatanan penting dan sah dalam pemahaman yang tujuan akhirnya adalah pemahaman diri (Madison, 1988: 49).
Inti varian hermeneutika dialektik tersebut yang tidak mempertentangkan penjelasan dengan pemahaman sejalan dengan pandangan Valdes (1987: 57-59) yang menganggap penting penjelasan dan pemahaman untuk menjelaskan prinsip interpretasi dalam beberapa teori utamanya, yakni teori historis, formalis, hermeneutika filosofis, dan poststrukturalis atau dekonstruksi.
Dalam varian hermeneutika dialektik ini, definisi verstehen yang dikemukakan Apel mengimplikasikan pengertian bahwa tidak ada yang tidak dapat dilakukan ilmuwan. Jika ilmuwan mencoba memahami fenomena tertentu, ia akan menghubungkan dengan latar belakang aturan-atuaran yang diverifikasi secara intersubjektif sebagaimana yang dikodifikasi pada hukum-hukum dan teori-teori. Pengalaman laboratorium pun turut mempengaruhi ilmuwan dalam memahami apa saja yang tengah ditelitinya. Dengan demikian, jelaslah bahwa verstehen pada dasarnya berfungsi untuk memahami objek kajiannya.
c). Hermeneutika Ontologis
Varian yang terakhir adalah hermeneutika ontologis. Aliran hermeneutika ini digagas oleh Hans-Georg Gadamer. Gadamer ( dalam Lefevere, 1977: 50) mengatakan bahwa semua yang membutuhkan penetapan dan pemahaman dalam suatu percakapan memerlukan hermeneutika. Begitu pun ketika dilakukan pemahaman terhadap teks sastra. Dalam mengemukakan deskripsinya, ia bertolak dari pemikiran filosof Martin Heidegger. Gadamer tidak lagi memandang konsep verstehen sebagai konsep metodologis, melainkan memandang verstehen sebagai pemahaman yang mengarah pada tingkat ontologis. Dalam hal ini, Gadamer menolak konsep hemeneutika sebagai metode. Kendatipun menurutnya hermeneutika adalah pemahaman, dia tidak menyatakan bahwa pemahaman itu bersifat metodis.
Verstehen, menurut Gadamer, merupakan jalan keberadaan kehidupan manusia itu sendiri yang asli. Varian hermeneutika ini menganggap dirinya bebas dari hambatan-hambatan konsep ilmiah yang bersifar ontologis (Lefevere, 1977: 50). Dalam sudut pandang Gadamer, masalah hermeneutika merupakan masalah aplikasi yang berhenti pada semua verstehen. Kendatipun memperlihatkan kemajuan pandang yang luar biasa, pandangan Gadamer juga masih tidak lepas dari kritikan yang diajukan Lefevere. Konsep hermeneutika ontologis Gadamer, yang bertitik tolak pada teks, didukung sepenuhnya dalam kata-kata Ricoeur. Ia menyatakan bahwa teks merupakan sesuatu yang bernilai, jauh melebihi sebuah kasus tertentu dari komunikasi intersubjektif. Teks memainkan sebuah karakteristik yang fundamental dari satu-satunya historisitas pengalaman manusia, yakni teks merupakan komunikasi dalam dan melalui jarak (Valdes, 1987: 61-62; Madison, 1988: 45). Oleh karena itu, tampak di sini Gadamer mengikuti filsafat Heidegger yang berusaha mencari hubungan dengan fenomena.
Dengan demikian, dalam varian ini Gadamer mengembalikan peran subjek pembaca selaku pemberi makna yang diabaikan dalam hermeneutika tradisional. Dari ketiga varian tersebut muncul dua pengelompokkan besar hermeneutika yaitu hermeneutika intensionalisme dan hermeneutika gadamerian. Intensioanalisme diawali sejak hermeneutika romantis dengan tokohnya Schleiermacher. Pokok pikiran Hermeneutika intensional ini adalah bahwa makna adalah maksud atau instensi produsernya. Dengan kata lain, makna kata sesungguhnya telah ada di balik kata itu sendiri. Makna telah menanti, dan tinggal ditemukan oleh penafsirnya, dan itu adalah tugas pembaca untuk mencarinya.
Menurut hermeneutika intensionalisme, makna adalah niat atau kemauan yang diwujudkan dalam suatu tindak atau produknya seperti teks misalnya, sehingga makna sudah ada dan hanya akan keluar jika diinterpretasikan. Pengertian ini didasarkan pada arti “makna” (meinen), yang menunjukkan arti bahwa makna suatu teks, tindak, hubungan, dan seterusnya adalah sesuatu yang ada dalam pikiran pengarang, yang kemudian dikeluarkan melalui suatu tindak seperti memproduk teks. Dengan kata lain makna telah ada dan menanti untuk dipahami. Makna hanya berasal dari aktifitas produsen (pengarang) teks, bukan dari aktifitas orang lain, termasuk aktifitas interpretasi penafsir. Dengan kata lain, pembaca atau penafsir harus memahami teks yang ia baca, dan pembaca atau penafsir dapat menangkap konsepsi pengarang mengenai fakta situasi, keyakinan, dan keinginan pengarang. Namun demikian dengan catatan bahwa penafsir harus menemukan alasan pengarang bersikap seperti yang dinyatakan melalui teks. Ditegaskan lagi bahwa Intensionalisme memandang makna sudah ada karena dibawa pengarang atau penyusun teks sehingga tinggal menunggu interpretasi penafsir.
Sedangkan hermeneutika gadamerian dengan tokohnya Hans-Georg Gadamer memberikan defenisi berbeda tentang makna. Makna dalam hermeneutika gadamerian bukan terletak pada instensi pengarang, melainkan terletak pada pembaca teks itu sendiri. Makna itu belum ada ketika sebuah kata diucapkan atau ditulis, dan segera muncul ketika kata itu didengarkan atau dibaca.
Konsep ini menemukan titik kulminasinya pada Gadamer yang menyatakan bahwa sekali teks hadir di ruang publik, ia telah hidup dengan nafasnya sendiri. Hermeneutika tidak lagi bertugas menyingkap makna objektif yang dikehendaki pengarangnya, tetapi adalah untuk memproduksi makna yang seluruhnya berpusat pada kondisi historisitas dan sosialitas pembaca. Dengan demikian, untuk memperoleh makna sebuah kata, kalimat atau teks tidak diperlukan lagi maksud aslinya yaitu dari pengarang.
Untuk melakukan interpretasi diperlukan pengetahuan yang bersifat gramatikal kebahasaan dan historis. Hal itu dimaksudkan agar kita memiliki pengetahuan latar munculnya karya itu dan bahasa yang dipakai dalam karya tersebut. Interpretasi atas arti kata sebagai bagian dari bahasa ditentukan oleh konteks tempat kata itu berada dan pemahaman akan latar karya dapat ditempuh dengan memahami karya-karya lain si pengarang sehingga diperoleh latar yang lengkap kelahiran karya yang dimaksud (Kaelan, 2009). Interpretasi teks tidak hanya berhenti pada makna teks. Interpretasi teks harus dipandang sebagai interaksi antara teks dan interpreter. Dalam pandangan Gadamer, situasi dan kondisi penafsir sekarang (ia mengistilahkannya sebagai situasi hermeneutis/hermeneutical situation) merupakan sebuah prapenilaian yang tidak bisa dihilangkan karena situasi tersebut adalah “given.” Bagi Gadamer, prapenilaian tidak pernah dapat dipisahkan dari hakikat wujud manusia. Oleh sebab itu, kondisi penafsir sekarang, bukanlah halangan yang merintangi dalam penafsiran, namun justru merupakan landasan produktif dari semua pemahaman.
Keterkaitan kita dengan teks bukan saja semata-mata kita sebagai makhluk sejarah yang berada dalam situasi kebudayaan kita, tetapi keterkaitan merupakan sebuah keniscayaan. Prapenilaian kita akan selalu terikut dalam menafsirkan teks.Tidak ada posisi netral dalam interaksi penafsir dengan tradisi (Moran, 2000).
Ditegaskan lagi bahwa hermeneutika Gadamerian memandang makna dicari, dikonstruksi, dan direkonstruksi oleh penafsir sesuai konteks penafsir sehingga makna teks tidak pernah baku. Makna senantiasa berubah tergantung dengan bagaimana, kapan, dan siapa pembacanya (penafsir). Hermeneutika Gadamerian dianggap sebagai sejarah penting bagi studi hermeneutika. Sebab, aliran hermeneutika ini memberikan dimensi yang sangat luas kepada setiap pembaca teks untuk lebih kreatif dan menjelajah dunia makna dengan sangat luas. Bagi hermeneutika makna tidak saja ada di belakang teks (meaning behind the texts), melainkan juga di depan teks (meaning before the texts).
3. Hermeneutika Dan Interpretasi Sastra
Pada mulanya hermeneutika dikembangkan pada ilmu filsafat dan teologi kemudian berkembang dan digunakan secara luas dalam ilmu-ilmu humoniora termasuk sastra. Perkembangan yang begitu pesat pada ilmu sosial dan humoniora memungkinkan hermeneutika juga sering digunakan. Sastra sebagai bagian ilmu humaniora merupakan salah satu bidang yang sangat membutuhkan konsep hermeneutika. Karya sastra didominasi oleh bahasa-bahasa yang bersifat konotatif. Untuk menggali makna konotatif dalam sebuah karya sastra, hermeneutika sangat berperan. Metode hermeneutika secara sederhana merupakan perpindahan fokus penafsiran dari makna literal atau makna bawaan sebuah teks kepada makna lain yang lebih dalam.
Hermeneutika yang berkembang dalam interpretasi sastra sangat berkaitan dengan perkembangan pemikiran hermeneutika. Terlihat terutama dalam sejarah filsafat dan teologi karena pemikiran hermeneutika mula-mula muncul dalam dua bidang tersebut. Untuk memahami hermeneutika dalam interpretasi sastra, diperlukan pemahaman sejarah hermeneutika, terutama mengenai tiga varian hermeneutika seperti dikemukakan Lefevere (hermeneutika tradisional, dialektik, dan ontologis) yang telah dijelaskan lebih dahulu dalam varian hermeneutika. Melalui pemahaman tiga varian hermeneutika tersebut, akan lebih memungkinkan adanya pemahaman yang memadai tentang hermeneutika dalam menginterpretasi sastra.
Ketika sebuah teks sastra dibaca seseorang, disadari atau tidak akan memunculkan interpretasi terhadap teks tersebut. Membicarakan teks tidak pernah terlepas dari unsur bahasa, Heidegger menyebutkan bahasa adalah dimensi kehidupan yang bergerak memungkinkan terciptanya dunia sejak awal. Bahasa mempunyai eksistensi sendiri yang di dalamnya manusia turut berpartisipasi (Eagleton, 2006:88). Senada dengan hal itu Habermas (dalam Kailan 2002:221-222) berpendapat bahwa bahasa merupakan unsur fundamental dalam hermeneutika.
Analisis dilakukan melalui hubungan simbol-simbol dan simbol tersebut adalah simbol dari fakta. Tidak akan terwujud suatu bahasa yang hanya merupakan serangkaian bunyi yang tidak bermakna. Oleh karena bermakna itulah maka sistem simbol itu disebut bahasa. Analisis fakta dilakukan melalui analisis hubungan antar simbol dalam bahasa. Ricoeur berpendapat bahwa hermeneutika sejati merupakan interpretasi tekstual. Sebuah teks, baik yang literal maupun yang bernuansa figuratif menjadi pusat interpretasi terhadap aksi sosial.
Dalam hal ini, interpretasi terhadap simbol dan semantik saling dicangkokkan ke dalam hermeneutika. Selama ini, hermeneutika merupakan salah satu model pemahaman yang paling representatif dalam studi sastra, karena hakikat studi sastra itu sendiri sebenarnya adalah interpretasi. Interpretasi teks sastra berdasar pemahaman yang mendalam. Namun, sebagaimana dikatakan Lefevere (1977: 51), hermeneutikatidak mempunyai status khusus dan bukan merupakan model pemahaman yang secara khusus begitu saja diterapkan dalam sastra, karena sastra merupakan objektivitas jiwa manusia. Beranjak dari apa yang dikatakan Lefevere jelaslah bahwa sesungguhnya diperlukan pengkhususan jika hermeneutika mau diterapkan dalam sastra, mengingat objek studi sastra itu adalah karya estetik. Lebih dalam dikatakan, persoalan perlunya hermeneutika terhadap penafsiran teks menjadi sangat penting manakala teks itu berjarak dengan pembaca, baik dalam sisi waktu dan tempat. Hal tersebut dijelaskan Hardiman (2003:37) sebagai berikut.
Kontak kita dengan pengarangnya putus oleh sebuah rentang waktu yang panjang sehingga kata-kata, kalimat-kalimat, dan terminologi-terminologi khusus dalam teks itu sulit kita pahami atau salah kita pahami. Di sini kita berusaha keras untuk menangkap makna sebagaimana dimaksudkan oleh pengarangnya. Kita menghadapi problematik autentisitas makna teks. Dan di sinilah kita berhadapan dengan ‘problematik hermeneutik’: bagaimana menafsirkan teks itu.
Pengertian teks dapat dipahami sebagai objek-objek dan struktur-struktur simbolis. Teks karya fiksi yang mengandung teks sosial di dalamnya memiliki fenomena sosio-kultural. Terdapat tiga unsur hakiki yang terkandung dalam teks sosial, yaitu pengalaman, ungkapan, dan pemahaman dari pengarang teks sosial atau pelaku sosial. Pengalaman adalah unsur-unsur subjektif yang terdapat dalam penghayatan internal pelaku sosial, misalnya hasrat, cita-cita, harapan, pandangan, gerak hati, dan sebagainya. Bentuk lahiriah pengalaman ialah tingkah laku, gerak-gerik, pranata, karya seni, tulisan, organisasi, dan sebagainya, yang disebut ekspresi sosial atau ungkapan. Kaitan kedua unsur itulah yang disebut pemahaman (Versetehen).
Friederich Scheleiermacher berpendapat bahwa semua karya, baik berupa dokumen hukum, kitab suci, atau karya sastra pada hakikatnya sama yaitu pemahaman (verstehen). Hermeneutik dalam hal ini merupakan seni untuk memahami karya itu. Pemahaman merupakan rekonstruksi yang bertolak dari ekspresi yang telah diungkapkan dan mengarah kembali ke suasana kejiwaan tempat ekspresi tersebut diungkapkan. Oleh karenanya proses hermeneutik merupakan lingkaran. Sifat melingkar itu dapat kita ketahui dari pandangannya terhadap bahasa. Dalam pandangan hermeneutiknya, bahasa merupakan sistem, artinya suatu kata ditentukan artinya lewat makna fungsionalnya dalam kalimat secara keseluruhan dan makna kalimat ditentukan oleh arti satu persatu kata yeng membentuk kalimat (Kaelan, 2009). Sutrisno (dalam Sutrisno dan Putranto, 2004:4) berpendapat bahwa manusia dihadapkan pada kode-kode bahasa yang, merupakan konsensus dan konvensi bersama masyarakat pengguna bahasa mengenai makna kata.
Dalam perkembangan wacana yang dinamis, kode tanda bahasa yang di aksarakan dan menjadi simbol-simbol ikon yang lebih luas dari cakupan bahasa disepakati sebagai teks. Oleh karena itu, betapa penting memahami kode bahasa dan artinya dari teks melalui dialog-dialog bukan hierarkis atau dikotomis dua posisi, tetapi antarteks.
Ricoeur (1981: 33) memandang wacana (Discourse) sebagai sesuatu yang lahir dari tuturan individu. Dalam hal ini Ricoeur menyinggung teori linguistik Ferdinand de Saussure yang diperbandingkan dengan konsep Hjemslev. Saussure membedakan bahasa dalam dikotomi tuturan individu (parole) dengan sistem bahasa (langue). Sedangkan Hjemslev mengkategorikannya dalam skema dan penggunaan. Dari dualitas inilah, menurut Ricoeur, teori tentang wacana (discourse) lahir. Dalam perspektif Ricoeur, parole atau ujaran individu identik dengan wacana (discourse). Menurut Ricoeur, wacana berbeda dengan bahasa sebagai sistem (langue). Wacana lahir karena adanya pertukaran makna dalam peristiwa tutur. Karakter peristiwa sendiri merujuk pada orang yang sedang berbicara. Selanjutnya dijelaskan bahwa terdapat empat unsur pembentuk wacana, yakni subjek yang menyatakan, isi atau proposisi yang merupakan dunia yang digambarkan, alamat yang dituju, dan terdapatnya konteks (ruang dan waktu).
Dengan demikian, dalam wacana terjadi lalulintas makna yang sangat kompleks (Saussure, 1988: 80). Berbicara penafsiran terhadap teks sastra Alvesson dan Skoldberg (2000:88) menyatakan selalu muncul masalah antara objektivitas dan subjektivitas analisisnya. Pemaknaan atau penafsiran yang bersifat temporal (bersifat sementara karena adanya konteks) selalu diantarai oleh sederet penanda dan tentu saja oleh teks. Dengan demikian, tugas hermeneutika tidak mencari kesamaan antara maksud penyampai pesan dan penafsir. Tugas hermeneutika adalah menafsirkan makna dan pesan subjektif mungkin sesuai dengan yang diinginkan teks. Teks itu sendiri tentu saja tidak terbatas pada fakta otonom yang tertulis atau terlukis (visual), tetapi selalu berkaitan dengan konteks. Di dalam konteks terdapat berbagai aspek yang bisa mendukung keutuhan pemaknaan. Aspek yang dimaksud menyangkut juga biografi kreator (seniman) dan berbagai hal yang berkaitan dengannya. Hal yang harus diperhatikan adalah seleksi atas hal-hal di luar teks harus selalu berada dalam petunjuk teks. Ini berarti bahwa analisis harus selalu bergerak dari teks, bukan sebaliknya. Hal terpenting dari semua itu adalah bahwa proses penafsiran selalu merupakan dialog antara teks dan penafsir.
Ricoeur (1981: 165) dengan merujuk pada Dilthey, menyebutnya sebagai lingkaran hermeneutik (hermeneutical circle). Lingkaran hermeneutik adalah satu prinsip yang perlu diperhatikan sehubungan dengan pemahaman. Khusus dalam pemahaman terhadap teks sastra adalah gagasan lingkaran hermeneutika (hermeneutical circle) yang dicetuskan oleh Dilthey dan yang diterima oleh Gadamer. Dalam studi sastra, gerak melingkar dari pemahaman ini amat penting karena gagasan ini menganggap bahwa untuk memahami objek dibatasi oleh konteks-konteks.
Asumsi dasar strukturalisme adalah melihat berbagai permasalahan sebagai sebuah jaringan struktur atau sistem. Di dalam jaringan struktur, relasi menjadi bagian penting. Membaca dunia, dalam perspektif strukturalisme, berarti memahami struktur dan makna dunia melalui relasi-relasi. Kerena melihat segala persoalan sebagai struktur, strukturalisme bersifat statis (anti perubahan), ahistoris (anti sejarah), dan reproduktif (pengulangan).
Lebih jelas dikemukakan bahwa strukturalisme melihat berbagai objek sebagai fakta otonom yang tidak memiliki hubungan keluar objek tersebut. Strukturalisme yang dipelopori Saussure ini mula-mula digunakan dalam kajian linguistik. Dalam analisis linguistik, Saussure mengembangkan teori-teori yang bersifat dikotomis. Konsep dikotomis tersebut adalah langue versus parole, penanda versus petanda, sinkronik versus diakronik, dan sintagmatik versus paradigmatik. Penjelasan ringkas mengenai konsep-konsep ini sebagai berikut.
Pertama, parole versus langue. Sebelum sampai pada dikotomi ini, Saussure menyebut satu istilah lain, yakni langage. Istilah-istilah ini dapat dijelaskan sebagai berikut. Parole adalah seluruh ujaran individu termasuk seluruh konstruksi individu yang muncul dari pilihan penutur. Karena demikian, parole bukan fakta sosial. Sedangkan kaidah bahasa adalah seluruh aturan gramatika yang mungkin digunakan oleh para penutur tersebut. Gabungan antara parole dengan kaidah bahasa itu kemudian disebut Saussure sebagai langage. Namun, kata Saussure, untuk mempelajari bahasa langage tidak bisa dijadikan acuan. Masalahnya, dalam langage terdapat ujaran individu. Dalam sebuah masyarakat, ujaran individu tentu saja sangat banyak, beragam, dan kompleks. Saussure kemudian menawarkan istilah langue sebagai objek studi bahasa. Langue adalah keseluruhan produk yang diajarkan masyarakat dan diterima individu secara pasif. Langue bukan kegiatan penutur (Saussure, 1988, hal. 80). Jika langage bersifat heterogen, langue bersifat homogen. Dengan demikian, langue adalah sebuah sistem, semacam kontrak yang telah dilakukan di antara anggota masyarakat di masa lalu.
Kedua, penanda dan petanda. Bahasa adalah sebuah penanda yang berhubungan dengan petanda lewat sebuah struktur. Relasi antara penanda dengan petanda tidak ditentukan oleh unsur lain di luar bahasa. Dengan perkataan lain, makna bahasa tidak ditentukan oleh sesuatu yang berada di luar dirinya, melainkan oleh struktur dalam bahasa itu sendiri. Warna merah dalam sistem lalu lintas, misalnya, adalah penanda dari petanda berhenti. Dalam konteks itu, berhenti sebagai makna merah bukan dibentuk oleh sesuatu yang berada di luar bahasa. Merah berarti berhenti karena ada hijau yang berarti jalan terus atau kuning yang berarti hati-hati. Itulah sebabnya fonem (bunyi) dalam bahasa berfungsi untuk membedakan makna. Kata kasur berbeda maknanya dengan kasar sebab yang satu berbunyi akhir u(r), sedangkan yang kedua berbunyi a (r).Demikian Saussure melihat bahasa sebagai sesuatu yang otonom.
Ketiga, diakronik versus sinkronik. Analisis diakronik adalah cara ilmiah yang mempelajari bahasa secara historis atau melihat perkembangannya sepanjang masa. Pada abad ke-19 cara ini merupakan satu-satunya yang bersifat ilmiah. Tapi Saussure menolak pandangan ini. Menurutnya, terdapat fakta-fakta bahasa yang hanya dapat diperoleh secara sinkronis saja, yakni dalam satu kurun waktu tertentu (Kridalaksana, 1988, hal. 10). Saussure mencontohkannya dengan cara menetak pohon secara horizontal (melintang) dan vertikal (membelah secara memanjang). Dari potongan melintang akan terlihat serat-serat yang saling berhubungan tempat satu perspektif tergantung pada perspektif yang lain, sedangkan pada potongan memanjang akan terlihat serat yang membentuk tumbuhan. Apa yang terlihat pada penampang yang dipotong melintang tidak mungkin terlihat pada potongan memanjang. Dengan ini Saussure ingin mengatakan bahwa dalam menganalisis bahasa tidak harus melihat fakta sejarahnya. Setiap hal bisa ditandai semata-mata dengan melihat berbagai elemen yang hadir secara sinkroknis.
Keempat, sintagmatik versus paradigmatik. Saussure sebenarnya menggunakan istilah asosiatif untuk paradigmatik, tapi istilah asosiatif diganti oleh Louis Hjelmslev menjadi paradigmatik dan istilah inilah yang kemudian digunakan dalam ranah linguistik. Secara sederhana, sintagmatik berarti makna denotatif. Hubungan sintagmatik adalah hubungan ujaran dalam suatu rangkaian. Hubungan ini bersifat in praesentia, yakni elemen-elemennya hadir secara faktual dalam rangkaian ujaran itu. Sedangkan hubungan paradigmatik merupakan hubungan yang bersifat in absentia. Dalam hubungan in absentia, hubungan terjadi secara asosiatif. Menurut Saussure, bentuk-bentuk bahasa dapat diuraikan secara cermat dengan meneliti dua hubungan tersebut (Kridalaksana, 1988, hal. 17).
Demikianlah makna bahasa dilihat dari perspektif struktural Saussurian. Pola-pola linguistik ini ternyata kemudian dipakai dalam membedah berbagai gejala kebudayaan dan kemasyarakatan. Dalam bidang kebudayaan dan kemasyarakatan, strukturalisme melihat realitas masyarakat sebagai sebuah sistem dan kurang menghargai peran individu. Individu ditempatkan pada posisi subjek dalam arti sebagai agen, pekerja dalam perusahaan makna. Dalam situasi ini, individu sebenarnya merupakan subjek sekaligus objek. Ia menjadi agen sekaligus juga sasaran dari aturan main dari sistem. Strukturalisme juga tidak memperhatikan kausalitas, ia lebih melihat relasi-relasi dalam struktur.
Strukturalisme lebih berkonsentrasi pada relasi dalam totalitas daripada mempersoalkan sejarah. Sebab sifatnya yang demikian, dalam kaitan dengan hermeneutika, sekali lagi, metode struktural hanya berfungsi untuk mengobjektivasi struktur saja. Dengan perkataan lain, penggunaan metode ini berhenti pada pembacaan teks yang otonom untuk mendukung (mengobjektivasi) pemaknaan yang dihasilkan dalam tafsir hermeneutik.
Pada sisi lain dengan hermenutika, tradisi budaya terpelihara bahkan distimulasi
penjiwaan dan reintegrasinya, baik dalam konteks perjumpaan kebudayaan suku bangsa di dalam kebudayaan nasional maupun dalam konteks perjumpaan kebudayaan antar bangsa (Poespoprodjo, 2004:143). Lebih lanjut Supriyono (2004:144-145) menyebutkan bahwa pembentukan budaya dengan sendirinya melibatkan di dalamnya perbedaan -perbedaan budaya seperti ras, kelas, gender, dan tradisi budaya. Identitas budaya bukanlah identitas bawaan dan entitas yang sudah ditakdirkan, dan tidak bisa direduksi, tetapi adanya negosiasi identitas kultural mencakup perjumpaan dan pertukaran tampilan budaya yang terus menerus akan menghasilkan pengakuan timbal balik akan perbedaan budaya.
Konsep dan cara kerja metode hermeneutika dalam kaitannya dengan karya seni termasuk karya sastra sebagai subjek penelitian dapat digambarkan dalam penjelasan berikut (Rohidi, 2006).
a. Mula-mula teks sastra ditempatkan sebagai objek yang diteliti sekaligus sebagai subjek atau pusat yang otonom. Karya sastra diposisikan sebagai fakta ontologi.
b. Selanjutnya, karya sastra sebagai fakta ontologi dipahami dengan cara mengobjektivasi strukturnya. Di sini analisis struktural menempati posisi penting.
c. Pada tahap berikutnya, pemahaman semakin meluas ketika masuk pada lapis simbolisasi. Hal ini terjadi sebab di sini tafsir telah melampaui batas struktur.
d. Kode-kode simbolik yang ditafsirkan tentu saja membutuhkan hal-hal yang bersifat referensial menyangkut proses kreatif seniman dan faktor-faktor yang berkaitan dengannya.
e. Kode simbolik yang dipancarkan teks dan dikaitkan dengan berbagai persoalan di luar dirinya menuntut disiplin ilmu lain untuk melengkapi tafsir dan di sinilah pembaca sebagai interpreter sangat berperan (Haryatmoko, 2002).
Ricoeur (1981: 33) membedakan dua macam simbol, yakni simbol univokal dan simbol ekuivokal. Simbol univokal adalah simbol dengan satu makna, seperti pada simbol-simbol logika. Sementara itu, simbol ekuivokal yang merupakan perhatian utama dari hermeneutika, yakni simbol yang memiliki bermacam-macam makna. Heremeneutika haruslah berhadapan dengan teks-teks simbolik, yang memiliki berbagai macam makna. Hermeneutika juga haruslah membentuk semacam kesatuan arti yang koheren dari teks yang ditafsirkan, dan sekaligus memiliki relevansi lebih dalam serta lebih jauh untuk masa kini maupun masa depan. Dengan kata lain, hermeneutika merupakan sebuah sistem penafsiran yakni relevansi dan makna lebih dalam dapat ditampilkan melampaui teks yang kelihatan.
DAFTAR PUSTAKA
Howard, Roy J. 1982. Hermeneutika; Wacana Analitik, psikososial, dan Ontologis. Ninuk Kledon-Probonegoro (ed.) Bandung: Nuansa Cendekia.
Hidayat, Asep Ahmad. 2006. Filsafat bahasa. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Madison, G.B. 1988. The Hermeneutics of Postmodernity: Figures and Themes. Bloomington and Indianapolis: Indiana University Press.
Palmer, Richard E.1969. Hermeneutics. Evanston: Northwestern University Press.
Palmer, Richard E. 2003. Hermeneutika: Teori Baru Mengenai Interpretasi: terj. Masnur Hery dan Damanhuri Muhammad. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Palmer, Richard E. 2005. Hermeneutika: Teori Baru Mengenai Interpretasi, Terj.
Masnur Hery Damanhuri Muhammad, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Poespoprodjo, W. 2004. Hermeneutika. Bandung: Pustaka Setia.
Komentar
Posting Komentar