PENDIDIKAN SASTRA
PENDIDIKAN SASTRA
A. Pendahuluan
Pembelajaran sastra di sekolah diakui memiliki peran penting dan fungsi yang tidak dapat dipisahkan dari tujuan pendidikan nasional secara utuh. Namun demikian, kenyataan yang kurang menggembirakan masih manjadi sorotan atas pendidikan sastra di sekolah. Sejumlah sorotan di antaranya dikaitkan dengan fenomena mutakhir yang menunjukkan gejala kemerosotan moral dan kenakalan remaja/siswa. Padahal dalam idealitasnya, Moody (Endraswara, 2005:56-57) mengatakan bahwa karya sastra dapat memberikan pengertian yang dalam tentang manusia.
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Mustakim (2001) menunjukkan bahwa pembelajaran apresiasi sastra di sekolah baru sebatas pemahaman literer, belum menyentuh kemampuan inferensial, evaluatif, dan apresiatif. Hal ini tidak lepas dari kenyataan umum pembelajaran sastra di sekolah yang masih berada pada sekitar pembicaraan tentang sastra, menghafal karya, dan pelaksanaan pembelajarannya dengan ceramah. Menyikapi persoalan demikian, kajian dan pemikiran yang terkait dengan pembelajaran sastra di sekolah harus terus dilakukan. Misalnya dengan mengarah pada pembelajaran sastra yang kreatif-produktif. Ditambah dengan memperhatikan kondisi sosio-kultural bangsa Indonesia, pembelajaran tersebut harus menghadirkan makna positif keindonesiaan (multikultur). Dengan perspektif ini, pembelajaran sastra akan benar-benar “mendidik”. Artinya, mampu mengolah aspek kemanusiaan siswa, yang sekaligus mengokohkan jati dirinya sebagai manusia Indonesia. Hal demikian dimaksudkan untuk mengurai dan menemukan solusi menuju pembelajaran sastra di sekolah sebagaimana yang diharapkan.
Pembelajaran bahasa dan sastra merupakan dua hal yang saling berkaitan antara yang satu dengan yang lainnya. Dalam pembelajaran sastra tidak dapat dilepaskan dengan pembelajaran bahasa, karena bahasa sebagai sarana untuk menyampaikan gagasan dan perasaan kepada orang lain baik secara tertulis maupun lisan. Bahasa berperan sentral dalam perkembangan intelektual, sosial, dan emosional peserta didik. Bahasa juga merupakan penunjang keberhasilan dalam mempelajari semua bidang studi. Pembelajaran bahasa diharapkan dapat membantu peserta didik mengenal dirinya, budayanya dan budaya orang lain, mengemukakan gagasannya dan perasaannya, dan berpartisipasi dalam masyarakat yang menggunakan bahasa tersebut. Oleh karena itu, pembelajaran bahasa Indonesia diarahkan untuk meningkatkan kemampuan peserta didik untuk berkomunikasi dalam bahasa Indonesia secara baik dan benar, baik secara lisan maupun tulisan serta menumbuhkan apresiasi terhadap hasil karya sastra Indonesia (Effendy, 2008: 316).
Karya sastra mengemban peran bagi kehidupan manusia, khususnya dalam masyarakat. Wibowo (2013: 38-39) mengungkapkan bahwa misi sastra meliputi: (a) karya sastra sebagai alat untuk menggerakkan pemikiran pembaca kepada kenyataan dan menolongnya mengambil suatu keputusan bila ia menghadapi masalah; (b) karya sastra menjadikan dirinya sebagai suatu tempat dimana nilai kemanusiaan mendapat tempat sewajarnya dan disebarluaskan, terutama dalam kehidupan modern dan berfungsi menjadi pengimbang sains dan teknologi; (c) karya sastra sebagai penerus tradisi suatu bangsa kepada masyarakat sezamannya. Ketiga misi sastra tersebut amat penting karena ungkapan jiwa, nuansa kehidupan, keindahan, semuanya tercipta dalam sastra.
Pembelajaran sastra dianggap penting karena pembelajaran sastra dapat membantu pembentukan watak. Dalam nilai pembelajaran sastra ada dua tuntutan yang dapat diungkapkan sehubungan dengan pembentukan watak ini. Pertama, pembelajaran sastra hendaknya mampu membina perasaan yang lebih tajam. Seseorang yang telah banyak mendalami berbagai karya sastra biasanya memiliki perasaan yang lebih peka untuk menunjuk hal mana yang bernilai dan mana yang tak bernilai. Tuntutan kedua, bahwa pembelajaran sastra hendaknya dapat memberikan bantuan dalam usaha mengembangkan berbagai kualitas kepribadian siswa yang antara lain meliputi ketekunan, kepandaian, pengimajian, dan penciptaan.
B. Pembahasan
1. Pembelajaran Sastra
Menurut Purba (2001: 2), “Kata sastra dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Sankerta. Akar katanya adalah cas yang berarti memberi petunjuk, mengarahkan,dan mengajar. Oleh karena itu, sastra dapat diartikan sebagai alat untuk mengajar, buku petunjuk, instruksi atau pengajaran”. Sedangkan Wellek dan Warren (1995:3) mengatakan, “Sastra adalah suatu kajian kreatif, sebuah cabang seni. Sastra adalah segala sesuatu yang tertulis atau tercetak. Sastra adalah karya imajinatif”.
Badan Standar Nasional Pendidikan pada tahun 2006 menyempurnakan Standar Kompetensi mata pelajaran Bahasa Indonesia bahwa “standar kompetensi mata pelajaran Bahasa Indonesia merupakan kualifikasi kemampuan minimal peserta didik yang menggambarkan penguasaan pengetahuan, keterampilan berbahasa, dan sikap positif terhadap bahasa dan sastra Indonesia.” Berdasarkan pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa peserta didik harus memiliki kemampuan mengapresiasi karya sastra.
Menurut Oemarjati (1992), bahwa ”Pengajaran sastra pada dasarnya mengemban misi efektif, yaitu memperkaya pengalaman siswa dan menjadikannya lebih tanggap terhadap peristiwa-peristiwa di sekelilingnya. Tujuan akhirnya adalah menanam, menumbuhkan, dan mengembangkan kepekaan terhadap masalah-masalah manusiawi, pengenalan dan rasa hormatnya terhadap tata nilai, baik dalam konteks individual, maupun sosial.”
Sastra seharusnya tidak dikelompokkan ke dalam aspek keterampilan berbahasa karena bukan merupakan bidang yang sejenis. Walaupun demikian, pembelajaran sastra dilaksanakan secara terintegrasi dengan pembelajaran bahasa baik dengan ketrampilan menulis, membaca, menyimak, maupun berbicara. Dalam praktiknya, pengajaran sastra berupa pengembangan kemampuan menulis sastra, membaca sastra, menyimak sastra, dan berbicara sastra.
Berdasarkan hal di atas, pembelajaran sastra mencakup hal-hal berikut :
a. Menulis sastra : menulis puisi, menulis cerpen, menulis novel, menulis drama,
b. Membaca sastra : membaca karya sastra dan memahami maknanya, baikterhadap karya sastra yang berbentuk puisi, prosa, maupun naskah drama,
c. Menyimak sastra : mendengarkan dan merefleksikan pembacaan puisi, dongeng, cerpen, novel, pementasan drama,
d. Berbicara sastra : berbalas pantun, deklamasi, mendongeng, bermain peran, berdasarkan naskah, menceritakan kembali isi karya sastra, menanggapi secara lisan pementasan karya sastra
2. Tujuan dan Manfaat Pembelajaran Sastra
Pembelajaran apresiasi sastra bertujuan agar siswa mampu memahami,menikmati, dan memanfaatkan karya sastra guna mengembangkan kepribadian, memperluas wawasan kehidupan, meningkatkan pengetahuan, dan kemampuan berbahasa (Depdiknas, 2001).
Menurut Lazar (2002: 15-19), manfaat pembelajaran sastra antara lain:
a. Memberikan motivasi kepada siswa
b. Memberi akses pada latar belakang budaya;
c. Memberi akses pada pemerolehan bahasa;
d. Memperluas perhatian siswa terhadap bahasa;
e. Mengembangkan kemampuan interpretatif siswa; dan
f. Mendidik siswa secara keseluruhan.
3. Materi Pembelajaran Sastra
Pengertian materi pembelajaran (instructional material) adalah bentuk bahan atau seperangkat substansi pembelajaran untuk membantu guru/ instruktur dalam kegiatan belajar mengajar yang disusun secara sistematis dalam rangka memenuhi standar kompetensi yang ditetapkan. Materi pembelajaran merupakan informasi, alat dan teks yang diperlukan untuk perencanaan dan penelaah implementasi pembelajaran serta untuk membantu dalam kegiatan belajar mengajar di kelas sehingga disusun secara sistematis untuk menampilkan sosok yang utuh dari kompetensi yang akan dikuasai siswa dalam proses pembelajaran.
Bahasa memegang peranan penting dalam kehidupan kita. Hal ini haruslah kita sadari benar-benar, apalagi bagi para guru bahasa pada khususnya dan bagi para guru bidang studi pada umumnya. Dalam tugasnya sehari-hari para guru bahasa harus memahami benar-benar bahwa tujuan akhir pembelajaran bahasa ialah agar para siswa terampil berbahasa; yaitu terampil menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Dengan perkataan lain, agar para siswa mempunyai kompetensi bahasa (language competence) yang baik.
Apabila seseorang mempunyai kompetensi bahasa yang baik, maka siswa diharapkan dapat berkomunikasi dengan orang lain secara baik dan lancar, baik secara lisan maupun tulisan. Siswa juga diharapkan menjadi penyimak dan pembicara yang baik, menjadi pembaca yang komprehensif serta penulis yang terampil dalam kehidupan sehari-hari. Untuk mencapai tujuan ini, maka para guru berupaya sekuat daya harus menggunakan bahasa dengan baik dan benar, agar siswa dapat meneladaninya. Suatu kenyataan bahwa manusia menggunakan bahasa sebagai sarana komunikasi vital dalam hidup ini.
Bahasa adalah milik manusia. Bahasa adalah salah satu ciri pembeda utama kita sebagai umat manusia dengan makhluk hidup lainnya di dunia ini. Setiap anggota masyarakat terlibat dalam komunikasi linguistik; di satu pihak dia bertindak sebagai pembicara dan di pihak lain sebagai penyimak. Dalam komunikasi yang lancar, proses perubahan dari pembicara menjadi penyimak maupun dari penyimak menjadi pembicara terjadi begitu cepat, terasa sebagai suatu peristiwa biasa dan wajar. Oleh sebab itu, pengertian bahasa ditinjau dari dua segi, yakni segi teknis dan segi praktis.
Pengertian bahasa secara teknis adalah seperangkat ujaran yang bermakna, yang dihasilkan dari alat ucap manusia. Secara praktis, bahasa merupakan alat komunikasi antara anggota masyarakat yang berupa sistem lambang bunyi yang bermakna, yang dihasilkan dari alat ucap manusia. Dari pengertian secara praktis ini dapat kita ketahui bahwa bahasa dalam hal ini mempunyai dua aspek, yaitu aspek sistem (lambang) bunyi dan aspek makna.Bahasa merupakan kebutuhan setiap umat manusia. Bahasa juga merupakan salah satu unsur budaya dan simbol bagi manusia dalam berkomunikasi terhadap semua kebutuhan. Melalui bahasa, manusia dapat menyampaikan atau menerima berbagai pesan, baik untuk dirinya maupun untuk orang lain.
Bahasa dalam lingkup yang sangat luas tidak hanya tertuju pada bahasa lisan atau bahasa tertulis. Bahasa merupakan alat komunikasi sosial yang berupa sistem simbol bunyi yang dihasilkan dari ucapan manusia. Manusia sebagai makhluk sosial membutuhkan sarana untuk berinteraksi dengan manusia lainnya di masyarakat. Untuk kepentingan interaksi sosial itu, maka dibutuhkan suatu wahana komunikasi yang disebut bahasa. Setiap masyarakat tentunya memiliki bahasa. Secara sederhana, bahasa dapat diartikan sebagai suatu sistem lambang terorganisasi yang disepakati secara umum dan merupakan hasil belajar yang digunakan untuk menyajikan pengalaman - pengalaman dalam suatu komunitas. Bahasa merupakan alat utama penyaluran kepercayaan, nilai dan norma termasuk seni dan religi.
Bahasa disebut sistem bunyi atau sistem lambang bunyi karena bunyi-bunyi bahasa yang kita dengar atau kita ucapkan itu sebenarnya bersistem atau memiliki keteraturan. Dalam hal ini, istilah sistem bunyi hanya terdapat di dalam bahasa lisan, sedangkan di dalam bahasa tulis bahasa sistem bunyi itu digambarkan dengan lambang-lambang tertentu yang disebut huruf. Bahasa memegang peranan yang sangat penting di dalam proses berpikir dan kreativitas setiap individu.
Bahasa bersifat simbolis, artinya suatu kata mampu melambangkan arti apapun. Melalui bahasa terjadi pewarisan budaya dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Misalnya, seorang pelukis di pantai panjang Bengkulu membimbing muridnya cara melukis bunga Raflesia dengan menggunakan bahasa Bengkulu. Seorang guru bahasa daerah seperti bahasa kagannga di daerah Curup akan mengajarkan siswa nya menggunakan bahasa kagangga. Begitu juga, para ustads di MDA akan mengajarkan muridnya seni membaca al Quran dengan bahasa Arab dan bahasa daerah setempat.
Dengan demikian, bahasa selain dapat disebut sistem bunyi, juga disebut sistem lambang. Dari pemaparan tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pembelajaran bahasa Indonesia adalah suatu proses perjalanan panjang yang dilalui oleh setiap siswa dalam mempelajari bahasa Indonesia atau bahasa kedua setelah bahasa Ibu. Adapun kompetensi dalam pembelajaran bahasa Indonesia meliputi menyimak, berbicara, membaca, dan menulis.
4. Membelajarkan Sastra
Proses pembelajaran bahasa selalu dikaitkan dengan tahap pemerolehan bahasa seseorang siswa. Pemerolehan bahasa dimaknai sebagai periode seseorang memperoleh bahasa atau kosa kata baru dan berlangsung sepanjang hayat. Pemerolehan bahasa sangat ditentukan oleh interaksi rumit antara aspek-aspek kematangan biologis, kognitif, dan sosial. Menurut Tarigan (Iskandarwassid, 2008: 84) bahwa setiap pendekatan moderen terhadap pemerolehan bahasa akan menghadapi kenyataan bahwa bahasa dibangun sejak semula oleh anak. Memanfaatkan aneka kapasitas bawaan sejak lahir yang beraneka ragam interaksinya dengan pengalaman-pengalaman dunia fisik dan sosial.
Proses pemerolehan bahasa bukanlah sesuatu yang sederhana. Berbahasa adalah proses kognitif yang rumit, hal inilah yang selalu dialami oleh setiap manusia normal pada umumnya. Salah satu fase penting dalam bahasa yang adalah fase imitasi. Pada fase imitasi, anak-anak akan meniru orang-orang di sekitarnya untuk berbicara. Dalam fase inilah anak-anak mengasah keterampilan mereka dalam “bercerita”. Pengalaman anak dari bercerita maupun mendengarkan cerita (menyimak) dapat memperkaya ragam perbendaharaan kata dan pengetahuan ragam bahasa, baik yang berkaitan dengan ragam tulisan maupun ragam lisan.
Keterampilan “bercerita” ini, seperti menyampaikan informasi faktual secara jelas merupakan keterampilan yang tidak diperoleh dengan sendirinya. Keterampilan ini menjadi bagian dari pembelajaran bahasa yang diperoleh dari guru. Bercerita sebagai salah satu keterampilan berbahasa menjadi sangat penting dalam pemerolehan bahasa karena melalui bercerita anak-anak dapat mengolah kembali semua bentuk pengalaman mereka dalam bahasa. Melatih anak untuk bercerita berarti melatih mereka untuk berani berbicara di depan orang lain. Dengan bercerita, atau merangkai peristiwa dalam ujaran, anak-anak memperoleh kesempatan mengungkapkan hal yang sudah terjadi, menyampaikan apa yang sedang terjadi, dan meramalkan apa yang akan terjadi.
Dalam proses bercerita, siswa juga belajar menyesuaikan persepsinya dengan persepsi orang lain. Karena pada saat bersamaan anak-anak dilatih untuk menyimak cerita. Dalam proses belajar bahasa tidak semata-mata mengasah keterampilan berbahasa itu sendiri, tetapi juga belajar bersosialisasi dengan lingkungan. Proses belajar bahasa pada para siswa di sekolah sangat dipengaruhi oleh pengalaman mereka sebelumnya, yaitu sebelum mereka menginjak bangku formal..
Pembelajaran bahasa pada hakikatnya adalah proses untuk mencapai empat kompetensi komunikatif. Menurut Oxford keempat kompetensi komunikatif tersebut adalah sebagai berikut:
a. Kompetensi gramatikal, yaitu penguasaan tanda-tanda bahasa, termasuk kosakata, tata bahasa, pelafalan, ejaan, dan pembentukan kata.
b. Kompetensi sosiolinguistis, yaitu kemampuan menggunakan ujaran dalam konteks sosial yang bervariasi, termasuk di dalamnya adalah pengetahuan mengenai pertuturan seperti membujuk, meminta maaf, atau menjelaskan.
c. Kompetensi wacana, yaitu kemampuan untuk menggabungkan gagasan-gagasan untuk mencapai kesatuan dan kepaduan pikiran dalam satuan bahasa di atas kalimat.
d. Kompetensi strategis, yaitu kemampuan menggunakan strategi untuk mengatasi keterbatasan pengetahuan bahasa.
Oleh karena itu pembelajaran bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional –bahasa kedua- diarahkan untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam berkomunikasi dengan bahasa Indonesia, baik secara lisan maupun tertulis. Kemampuan menggunakan bahasa dalam komunikasi merupakan tujuan yang harus dicapai dalam pembelajaran bahasa. Untuk mencapai tujuan itu diperlukan pendekatan dalam pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan perkembangan anak.
Pembelajaran bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua secara formal dimulai ketika anak memasuki pendidikan dasar (TK sampai SD). Anak-anak ketika memasuki usia 5 tahun telah menguasai pola bahasa. Mata pelajaran bahasa Indonesia di sekolah disebut dengan mata pelajaran bahasa dan sastra Indonesia. Karena pada prinsipnya, bahasa dan sastra merupakan dua unsur yang tidak dapat dipisahkan dalam kebudayaan manusia. Sastra, suatu komunikasi seni yang hidup bersama bahasa. Di satu pihak sastra merupakan salah satu bentuk pengungkapan bahasa, di lain pihak bahasa akan lebih hidup berkat sentuhan estetis unsur-unsur sastra. (Jamaluddin, 2003: 31).
Pelajaran bahasa dan sastra Indonesia mulai dikenalkan di tingkat sekolah sejak kelas 1 sekolah dasar atau bahkan di taman kanak-kanak. Pada masa tersebut materinya hanya sebatas pada aktivitas membaca, menulis sambung serta membuat karangan singkat, baik berupa karangan bebas maupun mengarang dengan ilustrasi gambar. Sampai ke tingkat-tingkat selanjutnya pola yang digunakan juga praktis tidak mengalami perubahan yang signifikan. Pembelajaran bahasa Indonesia yang monoton telah membuat para siswa mulai merasakan gejala kejenuhan terhadap belajar bahasa Indonesia. Hal tersebut diperparah dengan adanya buku paket yang menjadi buku wajib. Sementara isi dari materinya terlalu luas dan juga cenderung bersifat hafalan yang membosankan. Inilah yang kemudian akan memupuk sifat menganggap remeh pelajaran bahasa Indonesia karena materi yang diajarkan hanya itu-itu saja.
Aspek-aspek penting yang menyangkut pengalaman dan keterampilan berbahasa dalam pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah dasar selalu kurang diperhatikan, bahkan strategi dan metode pembelajarannya pun masih bersifat tradisional dan kurang inovatif. Di sekolah, pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia diarahkan untuk meningkatkan kemampuan mereka untuk berkomunikasi dalam bahasa Indonesia dengan baik dan benar, secara lisan dan tertulis, dan untuk menumbuhkan apresiasi terhadap hasil karya kesusastraan Indonesia. Pembelajaran bahasa Indonesia berfungsi pula sebagai sarana untuk membantu siswa mengemukakan gagasan dan perasaan, berpartisipasi dalam masyarakat dengan menggunakan bahasa tersebut, dan menemukan serta menggunakan kemampuan analitis dan imajinatif.
Menurut Schleppegrell (2004:3), sekolah perlu meningkatkan kesadaran siswa mengenai kekuatan pilihan kata dalam penafsiran berbagai makna dan beragam konteks sosial. Apa yang dikemukakan Schleppergrell ini pun relevan dengan tujuan pengajaran bahasa dan sastra Indonesia. Strategi guru dalam mengajarkan bahasa Indonesia bukan hanya sebagai alat untuk meningkatkan kemampuan kognitif siswa, melainkan juga untuk meningkatkan apresiasi siswa terhadap seni dan budaya -dalam hal ini adalah karya sastra.
C. Simpulan
Pada prinsipnya, bahasa dan sastra merupakan dua unsur yang tidak dapat dipisahkan dalam kebudayaan manusia. Sastra, suatu komunikasi seni yang hidup bersama bahasa. Mata pelajaran bahasa Indonesia di sekolah dasar memuat unsur pembelajaran sastra. Materi sastra sangat penting untuk disampaikan di sekolah, karena dalam sastra terdapat nilai-nilai kehidupan yang tidak diberikan secara perskriptif –harus begini, jangan begitu-. Melalui karya sastra juga siswa ditempatkan sebagai pusat dalam latar pendidikan bahasa, eksplorasi sastra, dan perkembangan pengalaman personal. Keakraban dengan karya sastra akan memperkaya perbendaharaan kata dan penguasaan ragam-ragam bahasa, yang mendukung kemampuan memaknai sesuatu secara kritis dan kemampuan memproduksi narasi.
Guru memperkenalkan karya sastra sebagai suatu bentuk seni (yang berkaitan dengan kreativitas) berbahasa. Dan pengajaran sastra ditekankan pada bagaimana mengapresiasikan karya, bukan menghafal karya sastra. Beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh guru dalam pembelajaran sastra terhadap siswa, yaitu; (1) memberi kesempatan siswa untuk memilih bacaan yang disukainya. (2) memberi kesempatan seluas-luasnya untuk membaca secara individual. (3) membuat suasana menyenangkan di sekolah.
DAFTAR PUSTAKA
Alfulialah, Noor. 2021. Materi Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di Pendidikan Dasar. Mataram : CV KANHAYAKARYA
Djojosuroto, Kinayati. 2010. Pendidikan Karakter Melalui Karya Sastra. Jakarta : Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Jakarta.
Mursal. 1992. Apresiasi Sastra. Padang: Angkasa.
Oemarjati, Boen S. 1992. Dengan Sastra Mencerdaskan Siswa: Memperkaya Pengalaman dan Pengetahuan. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Oemarjati, Boen S. 2006. Pengajaran Sastra pada Pendidikan Menengah di Indonesia : Quo Vadis. Susastra 3 Jurnal Ilmu Sastra dan Budaya. HISKI. Jakarta: Yayasan Obor.
Riama. 2020. Pembelajaran Sastra dan Bahasa di Sekolah. Jurnal Universitas Dharmawangsa, Vol.14, No.3.
Komentar
Posting Komentar